Di sudut jalan kecil di kota Bandung, di bawah terpal biru yang mulai lapuk, duduklah seorang kakek tua yang setiap harinya menambal ban bocor dengan tangan gemetar tapi penuh ketelitian. Orang-orang memanggilnya “Kakek Naryo”. Usianya sudah 72 tahun, kulitnya gelap terbakar matahari, dan pakaiannya selalu penuh noda oli. Tapi siapa sangka, kakek sederhana ini menyimpan masa lalu yang bikin seluruh Indonesia tercengang.
Semua Berubah Saat Seorang Mahasiswa Tak Sengaja Nongkrong di Sampingnya
Namanya Arga, mahasiswa teknik mesin dari ITB. Waktu itu motornya bocor tepat di depan lapak Kakek Naryo. Sambil menunggu, ia memperhatikan kakek itu bekerja. Tapi ada yang aneh: sang kakek tak cuma tahu cara menambal ban, tapi juga menjelaskan kenapa tekanan udara bisa turun drastis kalau suhu di bawah 20 derajat celcius.mg 4d
Arga terperangah. “Kok kakek tahu soal hukum gas ideal?”
Kakek Naryo hanya tertawa kecil. “Dulu saya yang ngajar hukum itu di kampus.”
Dan dari situlah semua kisah luar biasa ini terbongkar.
Dulu Ia Dikenal Sebagai “Profesor Naryo” dan Sering Jadi Pembicara Internasional
Setelah kejadian itu, Arga tak bisa tidur. Ia penasaran. Ia kembali ke lapak tambal ban keesokan harinya, membawa camilan dan segudang pertanyaan. Kakek Naryo awalnya enggan bicara. Tapi setelah diyakinkan, ia mulai membuka sedikit demi sedikit cerita masa lalunya.
Ternyata nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Naryo Widodo, lulusan Teknik Mesin dari Jerman Barat tahun 1975. Ia pernah menjadi dosen di dua universitas besar di Indonesia, menulis 13 jurnal ilmiah internasional, bahkan sempat jadi penasehat teknis untuk proyek pesawat CN-235.
“Iya, dulu saya sering mondar-mandir antara Indonesia dan Jerman. Hidup saya dulu ya… penuh angka, mesin, dan mimpi besar,” ujarnya sambil membetulkan kacamata retaknya.
Arga merekam pengakuan itu. Ia unggah video singkat ke TikTok. Dalam 24 jam, video itu viral. Nama “Kakek Naryo” langsung jadi trending topic. Ribuan orang tak percaya. Tapi setelah sejumlah alumni kampus dan mantan kolega mengonfirmasi, publik langsung terdiam.
Tapi Kenapa Seorang Ilmuwan Hebat Bisa Berakhir Jadi Tukang Tambal Ban?
Pertanyaan itu juga yang membuat netizen tak bisa tidur. Kenapa seorang profesor bisa hidup seperti ini? Jawabannya ternyata jauh lebih memilukan dari yang dibayangkan.
Di tahun 1998, saat krisis moneter melanda, Naryo yang saat itu menjabat sebagai kepala riset di sebuah BUMN besar dituduh melakukan penyalahgunaan dana—padahal ia tidak bersalah. Ia difitnah oleh rekan kerjanya sendiri yang ingin merebut posisinya. Tanpa cukup bukti, ia dipecat secara tidak hormat dan namanya tercoret dari berbagai institusi ilmiah.
“Habis nama baik saya, habis karier saya, habis semua.”
Tak sampai di situ, sang istri yang tidak kuat menghadapi tekanan sosial meminta cerai. Anaknya, yang saat itu masih SMP, ikut ibunya dan akhirnya putus komunikasi total dengan sang ayah.
Kakek Naryo kehilangan segalanya: pekerjaan, keluarga, martabat. Ia sempat tidur di masjid selama berbulan-bulan, makan dari belas kasihan warga sekitar. Sampai akhirnya ia belajar menambal ban dari seorang pemilik bengkel kecil yang kasihan melihatnya mengais sisa nasi di tong sampah.
Dari Kejatuhan Terendah, Ia Bangkit Perlahan
Selama lebih dari 20 tahun, ia hidup sebagai tukang tambal ban. Tak banyak bicara, tak pernah menjelaskan siapa dirinya. Tapi diam-diam, di rumah petak kecilnya yang sewa per bulan, ia masih menyimpan semua buku catatannya. Kertas-kertas penuh rumus. Skripsi mahasiswa. Jurnal ilmiah. Bahkan surat undangan konferensi dari NASA yang ia tak pernah sempat hadiri.
“Saya enggak pernah buang itu. Karena itu satu-satunya bukti bahwa saya pernah berarti.”
Setiap malam, saat orang-orang tidur, ia membaca ulang kertas-kertas itu sambil mengingat masa lalunya. Ia bahkan masih bisa menyebutkan satu per satu nama muridnya dari 30 tahun lalu. “Si Edo sekarang kerja di Jepang. Si Ratna jadi dosen juga. Saya bangga.”
Video Kedua Membuka Mata Dunia
Arga kembali membuat video. Kali ini lebih panjang, berisi kisah lengkap Kakek Naryo, foto-foto lamanya saat menjadi pembicara, potongan jurnal, dan rekaman suara asli saat beliau mengajar.
Video itu meledak. Dalam waktu 3 hari, ditonton lebih dari 15 juta kali. Channel berita nasional mulai menelusuri. Kampus tempat beliau dulu mengajar akhirnya mengakui kesalahan dan mengumumkan secara terbuka permintaan maaf atas pemecatan yang tidak adil.
Publik tersentak. Komentar bermunculan: “Saya malu. Dulu saya sering lihat beliau, tapi saya kira cuma tukang tambal ban biasa.”
“Saya anak dari orang yang pernah diajar Pak Naryo. Ayah saya menangis saat tahu beliau masih hidup.”
Kehidupannya Berubah Drastis, Tapi Sikapnya Tetap Sama
Kini, Kakek Naryo tak lagi menambal ban. Ia diundang jadi pembicara di kampus-kampus, masuk TV, bahkan ditawari posisi kehormatan di kementerian riset. Tapi apa yang ia lakukan? Ia menolak jabatan, menolak fasilitas mewah. Ia hanya meminta satu hal: dibuatkan program pendidikan teknik dasar untuk anak-anak jalanan.
“Saya enggak butuh dihormati. Saya cuma pengen anak-anak kecil itu tahu, ilmu bisa menyelamatkan mereka.”
Kini, bersama Arga dan beberapa donatur, Kakek Naryo mendirikan bengkel belajar gratis untuk anak-anak tidak mampu. Di sana, ia mengajarkan dasar-dasar mekanika, fisika, dan logika teknik—semua dengan bahasa sederhana dan penuh kasih.
Anak-anak memanggilnya “Eyang Profe”. Dan setiap sore, suara tawa mereka terdengar dari balik dinding seng yang dulu cuma jadi tempat tambal ban.
Satu Kalimat yang Menggetarkan Hati Seluruh Bangsa
Saat diwawancarai oleh jurnalis nasional, sang reporter bertanya: “Apa yang paling kakek sesali dalam hidup ini?”
Dan jawabannya membuat seluruh kru syuting terdiam.
“Saya enggak nyesel hidup saya susah. Saya cuma sedih, karena dulu… saya terlalu percaya pada sistem yang enggak percaya sama saya.”
Kalimat itu mengudara. Trending lagi. Kali ini bukan hanya netizen Indonesia yang tersentuh. Media luar negeri pun mulai meliput. BBC, NHK, dan bahkan The Guardian menuliskan kisahnya.
Penutup: Dunia Tak Butuh Banyak Profesor, Tapi Butuh Lebih Banyak Hati Seperti Naryo
Kakek Naryo bukan cuma kisah tentang kejatuhan dan kebangkitan. Ini adalah kisah tentang ketulusan, kesabaran, dan keyakinan bahwa ilmu tanpa ego bisa menyelamatkan dunia.
Di saat banyak orang memakai gelar hanya untuk pamer, beliau justru membiarkan dirinya terlupakan, hanya untuk tetap bisa memberi. Ia tidak pernah menuntut pengakuan. Tapi ketika dunia akhirnya tahu siapa dia sebenarnya, ia tetap berkata, “Saya hanya ingin berguna. Itu saja.”
Dan mungkin, dari balik terpal tambal ban itu, lahirlah sosok paling mulia yang pernah kita abaikan: seorang profesor sejati, dengan hati sebesar semesta.